Mengenal Occupational Injustice
Halo! Pada kesempatan kali ini saya akan menyampaikan mengenai salah satu pokok
bahasan yang dipelajari dalam occupational
therapy (sengaja saya tulis dalam
bahasa inggris yaa), yaitu occupational injustice. Pada dasarnya
memang diawali dahulu dengan occupational
justice, keadaan dimana individu dapat melakukan okupasinya dengan mandiri
dan terlibat dalam lingkungannya tanpa terganggu/bermasalah dengan faktor
eksternal apapun (lingkungan, situasi-kondisi, masyarakat, fasilitas umum,
dsb). Dengan kata lain, bila saat ini kita hidup di tengah situasi justice, hal yang kita rasakan adalah
ketenangan, kedamaian, kebersamaan, rasa saling memiliki dan toleransi; entah
itu dalam bentuk keadilan “senyata-nyatanya” atau malah keadilan “semu”, yang
mana terjadi ketika kita hidup sebagai mayoritas dan mengambil keuntungan dari
para minoritas. Iya kan?
Sambil sharing dan sedikit OOT (out
of topic), saya bagikan video di bawah ini dari dokumenter TV One tentang
seorang Haris Azhar. Beliau menyebut bahwa salah satu kelicikan dan ketimpangan
hukum saat ini, salah satunya disebabkan oleh keadilan “semu”: yang di atas
merasakan ‘adil yang senyata-nyatanya’ sedang yang di bawah merasakan ‘adil
yang menyengsarakan’ mereka. Video ini menarik untuk kita sedikit belajar hukum
dan keadilan, dari sudut pandang Haris Azhar.
Talk Show tvOne; 1 Hari, 1000 Pesan: Haris Azhar
Okedeh, back to the topic. Occupational injustice, ya? Adalah suatu keadaan
yang secara eksternal dan sosial terbentuk baik dalam suatu kondisi, dengan
memberikan dampak negatif yang menyesakkan/mengganggu kelangsungan individu
dalam melakukan okupasinya (Townsend & Wilcock, 2004). Saya berikan
permisalan: suatu waktu ada individu dengan ‘karakteristik’ yang berbeda,
misalnya berkulit hitam atau seorang ras tionghoa, sedang berada di lingkungan
kulit putih western. Mereka
diperlakukan dengan “istimewa” yang pada akhirnya malah membatasi hak-hak
mereka atau memberikan mereka perlakuan yang berbeda.
Sebagai contoh, kasus Ibu dengan disabilitas,
menggunakan kursi roda untuk melakukan mobilitas kemanapun Ia pergi. Suatu saat
harus menaiki transportasi umum, misalnya BRT (Bus Rapid Transit), tetapi fasilitas haltenya tidak bisa dijangkau
olehnya untuk menuju ke atas secara mandiri, karena tanjakan kursi rodanya
terlalu curam dan pada saat itu dia sendirian.
Menurut sedulur, apa kata pertama yang terbesit di pikiran sedulur dari kasus tersebut?
Apakah diskriminasi? Penghindaran? Penyiksaan? Stigma? Ketidakdilan? Atau lainnya?
Apapun kata pertama sedulur, saya rasa
merupakan salah satu kata atau masih ada hubungannya dengan opsi di atas. Yap,
sejelasnya itu lah contoh ketidakadilan, injustice.
Akibat yang ditimbulkan tentu dengan jelas akan menyeluruh, terutama pada
kelangsungan individu untuk melakukan okupasinya dengan baik, nyaman, dan puas
tentunya, pula imbas kepada faktor internal individu.
Mengenal
occupational injustice dalam perkembangan teorinya saat ini, terbagi
dalam 5 jenis. Antara lain:
- Occupational Deprivation
- Occupational Disruption
- Occupational Alienation
- Occupational Imbalance
- Occupational Apartheid
- Occupational Marginalization
Occupational Deprivation dan Occupational Disruption
Bertahan di Pengungsian dan di Rumah: Bagaimana Melawan Kecemasan?
Suatu keadaan dimana individu terbatas
dalam keterlibatannya dalam okupasinya dengan baik dan/atau disebabkan oleh
faktor-faktor tertentu yang dengan tiba-tiba mengendalikan kebebasan individu
tersebut. Secara pengertian dasar, dua istilah tersebut memiliki kesamaan,
misalnya oleh Stadnyk et al. (2010) menyebutkan bahwa situasi ini individu
terdapat pada terpisahnya individu dari konteks normal ke konteks yang berbeda
(contoh: situasi isolasi, pengungsian bencana alam, dll). Namun terdapat
sedikit perbedaan di mana deprivation lebih memiliki waktu yang lama dan
berdampak signifikan terhadap kesehatan individu (Durocher, Gibson, Rappolt,
2014).
Sebagai contoh, saat ini kita dalam situasi di mana keluar
rumah menjadi sesuatu yang tidak dianjurkan. Semua individu banyak menghabiskan
waktu di dalam rumah, dengan segala pekerjaan (bagi yang work from home)
dan rutinitas yang berubah 180o sampai waktu yang tidak bisa
ditentukan (bekepanjangan) dengan dampak kesehatan dari masing-masing individu
yang berbeda. Bisa jadi semakin depresi, muncul kecemasan, imunitas menurun,
gangguan pola tidur, kebosanan, dan lainnya. Yap, inilah occupational
deprivation.
Lalu bagaimana dengan occupational disruption?
Kalau disruption, waktunya cenderung pendek, sementara dan tidak
berdampak signifikan pada kualitas kesehatan. Misalnya, individu ingin
menghibur dirinya dengan keluar rumah rutin malam minggu jalan-jalan bareng
pacarnya. Tetapi, situasi di lingkungannya sedang ramai karena ada
pernikahan dan kepribadiannya adalah seorang jawa dengan segala
ketidakenakannya, akhirnya batal. Ia memilih untuk tidak keluar, menghormati
tetangganya dan ikut bertamu ke pernikahan tersebut. Atau misalnya pada
peristiwa kebencanaan yang memaksa warga terdampak untuk sementara mengungsi,
bila situasi aman akan kembali ke rumahnya.
Occupational Alienation
Human Trafficking: Perbudakan Masa Kini & Masa Depan
Pengabaian sosial dengan pembatasan
terhadap suatu populasi/kelompok individu untuk mengembangkan dan melakukan
okupasi yang bermakna bagi mereka. Townsend & Wilcock (2004a) menyebutkan
bahwa occupational alienation menunjukkan dampak berupa perasaan ketidakberartian
dan tanpa tujuan ketika individu melakukan aktivitas kesehariannya. Dilanjutkan
oleh Townsend & Wilcock (2004b), karakteristik dari occupational
alienation ini merupakan sesuatu yang tidak lagi berarti, tidak menarik,
membosankan, dan sifatnya seperti memaksakan partisipasi individu untuk
terlibat dalam okupasi. Stadynk et al. (2010) menambahkan suatu okupasi/hal
yang dikerjakan dengan terdapat standar yang tinggi (hasil yang sempurna),
terus dilakukan berulang, dan tanpa adanya kesempatan bagi individu untuk
memilih, mengendalikkan, memutuskan atau berkreasi, akan menimbulkan kebosanan
atau menurunnya minat.
Sebagai contoh, misalnya seorang pegawai yang sehari-hari
mengerjakan dokumen saja dan hak-hak karyawan tampak seperti dibatasi. Pada
titik tertentu, Ia akan merasakan bosan dan sampai di drop pointnya. Atau
sebuah contoh di mana adanya occupational alienation ini adalah pad
praktik perbudakan dan human trafficking. Kenapa begitu? Eksploitasi
yang berlebihan pada manusia untuk melakukan sesuatu membuat individu tidak
merasakan kebebasan dalam melakukan okupasinya,
selain okupasi yang dinilai mengganggu ini. Inilah letak dari occupational
alienation, tentu dengan dampak berbeda yang dirasakan oleh masing-masing
individu.
Occupational Imbalance
Imbalance: Over-occupied
Keadaan dimana pola hidup dan
melakukan okupasi dari individu dalam intensitas terlalu sering (banyak) atau
terlalu jarang (sedikit) karena pekerjaan yang berlebihan atau keadaan
menganggur, maupun terlalu banyak tanggungan yang didapatkan dari
lingkungannya, sekitarnya, atau dirinya sendiri secara mendadak (Hocking,
2017). Disebutkan Townsend & Wilcock (2004), occupational imbalance
digambarkan sebagai satu bentuk dari occupational apartheid, yang
terbagi atas tiga jenis: un-occupied, under-occupied dan over-occupied.
Sebagai mempermudah pemahaman, kita runtutkan dari asal kata imbalance,
berarti tidak adanya (im) keseimbangan (balance). Asumsi dari
tidak seimbang itu, saya ibaratkan sebuah timbangan: tidak berat (un-occupied),
kurang berat (under-occupied), pas (balance) dan keberatan (over-occupied).
Stress Karena Terlalu Sibuk
Ketika individu yang un-occupied, kondisinya adalah
Ia merupakan pengangguran, lebih tepatnya tidak memiliki pola
keseharian/aktivitas yang dilakukan (bahasa kekiniannya: nganggur/gabut). Lalu
individu under-occupied, kondisinya Ia merupakan individu yang kurang
sibuk. Ada memang sehari melakukan beberapa aktivitas/okupasi tertentu yang
jelas dan rutin, tetapi masih kurang (bahasa kekiniannya: sok sibuk). Terakhir,
individu over-occupied, di mana Ia merupakan individu super sibuk yang
sering lupa sama kegiatan selain prioritasnya. Townsend & Wilcock (2004)
menambahkan, individu un-occupied merupakan bentuk utuh dari
occupational imbalance itu sendiri. Dapat diketahui pula bila individu yang
dulunya over-occupied dapat menjadi un-occupied, misalnya akibat
dari budaya bekerja/produktivitas tertentu (misalnya kasus gila kerja di
Jepang, Tiongkok dan Western).
Occupational Apartheid
Pembatasan dengan White Supremacy
Malfitano, Souza & Lopes (2016) menjelaskan bahwa occupational
apartheid merupakan suatu situasi di mana kelompok individu tidak dapat
melakukan okupasinya, utamanya tidak dapat melakukan kegiatan ekonomi/bekerja
dan menjadi isolasi sosial di masyarakat. Faktor-faktor seperti ras,
disabilitas, jenis kelamin, usia, kebangsaan, agama, status sosial dan arah
seksualitas individu menjadi penyebab yang menimbulkan adanya occupational
apartheid. Adanya occupational apartheid ini merupakan
akibat adanya pembatasan dalam sektor ekonomi, sosial, hukum, atau agama dan
dibuat-buat dengan pertimbangan hukum yang bersifat ‘kongkalikong’ tidak
memihak dan mengeksploitasi mengambil keistimewaan di atas minoritas
(Kronenberg & Pollard, 2005).
Melihat apartheid mengingatkan kita pada masalah yang
dahulu sempat menjadi masalah politik dunia. Yap, politik apartheid atau biasa
disebut politik beda warna kulit, dengan tokoh dibalik politik yang
menggemparkan dunia internasional, almarhum Nelson Mandela. Dewasa ini, bentuk
apartheid cenderung sedikit berbelok dan dipahami dalam satu istilah, rasisme/rasialisme
(dalam kaidah bahasa Indonesia; KBBI) yang lebih kompleks sentimennya hingga
menyangkut ras/suku bangsa tertentu.
Perlawanan terhadap Islamophobia
Praktik occupational apartheid
sebetulnya bisa kita lihat, namun tidak pernah kita sadari. Praktik pelarangan,
boikot, persekusi dari oknum oknum dengan dasar “syariat agama” karena merasa
dirinya bagian dari ‘mayoritas’ kepada masyarakat dengan agama lain,
ketidakadlian sistem perekrutan karyawan pada disabilitas mental yang membuat
mereka banyak tidak bisa bekerja, bahkan melamar kerja di
instansi-instansi/perusahaan/agensi/sejenisnya.
Kasus orang dengan ekonomi
kurang mampu sulit untuk merasakan rumah sakit, sarana pendidikan dan fasilitas
lainnya, polarisasi kelompok masyarakat (karena berbeda dalam SARA maupun
keterbatasan fisik, sakit kronis, disabilitas, dsb) yang pada akhirnya
diekslusifikan dari lingkungan sosial yang tadinya menyatu pada keberagaman.
Kasus kasus tersebut banyak yang berujung pada adanya pembatasan dan
ketidakadilan untuk melakukan okupasinya, dalam bentuk aktivitas keseharian
mereka pula dengan pola hidup mereka.
Occupational Marginalization
Diskriminasi Tersembunyi: Menjauhi dengan Membuat Kelompok
Kita awali dulu dengan mengkaji secara makna kata, marginal
yang menurut KBBI berarti tidak terlalu menguntungkan, pinggir, terpencil.
Disebutkan oleh Gerlach (2015), marginalisasi berarti kumpulan orang atau
populasi yang terdampak secara negatif oleh sejarah, struktur kekuasaan dan
ketidakadilan sosial. Marginalisasi tidak melekat begitu saja pada kelompok
tertentu, malahan, terbentuk oleh kondisi dan ketidakadilan yang terus menerus
ada (Browne et al., 2012).
Occupational marginalization
merupakan situasi dimana adanya diskriminasi sosial dengan membatasi suatu
populasi dari kebebasan dengan mengurangi kesempatannya terlibat dengan
okupasinya (Nilsson & Townsend, 2010), terbatas untuk berpartisipasi dengan
baik dalam konteks dan lingkungan mereka (Townsend & Wilcock, 2004),
kesulitan untuk memanfaatkan kesempatan dan sumber daya yang tersedia (Hammell,
2008) dan tidak mampu turut berpartisipasi dalam okupasinya dan bisa jadi
diasingkan dengan tidak dihargai maupun tidak diperbolehkan menentukan atau
mengontrol sesuatu, pula dalam berkesempatan membuat keputusan (Durocher,
Gibson, Rappolt, 2014). Menurut Hammell & Beagan (2016), occupational
marginalization merupakan bentuk terparah dari occupational apartheid.
Kelompok Pro LGBT Mendesak Kesetaraan
Ketika dengar atau baca kata marginal, saya jadi ingat
sebuah band metal, Marjinal, yang cadas, powerful dan lagu-lagunya penuh
tamparan kritik sosial dan kebijakan dan dikatakan kelompok ini juga tergabung
dalam kelompok Punk, yang dikenal merupakan kelompok sosial masyarakat jalanan.
Kemudian, adapula kelompok-kelompok tertentu yang mana mewakili kumpulan
individu yang bisa dibilang “berbeda” dari konteks sosial dan bisa dikatakan minoritas
(tidak banyak individu yang tergabung di dalamnya), yang berbeda daripada saya
dan mungkin juga sedulur sekalian yang termasuk dalam kelompok sosial mayoritas.
Kelompok minoritas disini disebabkan oleh beberapa hal ya, ada yang dikarenakan
visi tertentu, agama tertentu, ras tertentu, suku tertentu, perangai seksual
tertentu dan sebagainya. Sebetulnya, bila kita hidup dengan asas keadilan
sosial dan okupasional saya yakin kita pasti lebih toleransi dan rukun satu
sama lain, saling menghargai hak-kewajiban satu sama lain dan tidak “saling
memanfaatkan” dengan mendiskriminasi atau memojokkan kelompok/individu tertentu.
Apartheid, Marginalisasi & Rasialisme: Masalah Lama yang Selalu Baru
Pada kasus occupational injustice – marginalization ini, suatu
kelompok/individu tampak menjadi korban. Stigma, pembatasan hak, diskriminasi,
terpinggirkan, tidak diperhatikan, tidak diayomi, keberadaannya dianggap
mengganggu ketertiban dan keamanan, selalu dipandang negatif dan hal-hal tidak
menguntungkan dan unrespect ditujukan kepada mereka. Sudah dijelek-jelekkan, masih
dibatasi haknya untuk menjalani hidup seperti masyarakat lainnya, setara. Tidak
ada sekolah dan tidak boleh bersekolah, “dilarang sakit” karena dianggap tidak
punya uang untuk berobat, dilarang bekerja karena personal appeal
yang “aneh”, dijauhi masyarakat karena dianggap menakutkan dan bahaya, dibenci
katanya melanggar syariat agama, dan sejenisnya yang memperlihatkan diskriminasi
dan “orang-orang yang terbuang”.
Menginjak Keadilan dan Kesetaraan melalui Marginalisasi
Occupational marginalization menjauhkan kita
dari yang namanya: kemanusiaan. Kemanusiaan yang utuh, dengan melihat dan memahami
manusia dengan baik, pantas dan setara tanpa harus memandang penampilan, tanpa
mengerti kepribadian, tanpa mencari-cari sesuatu yang berbeda daripadanya.
Mungkin dari sedulur-sedulur akan sedikit merasa
kebingungan dengan artikel ini, utamanya mengenai “Mana yang bentuk injustice
yang lebih berat?”. Bentuk Injustice terberat adalah occupational
marginalization. Dalam marginalization sudah menunjukkan adanya
pembatasan pembatasan dari lingkungan (utamanya sosial; lebih memiliki pengaruh
besar) terhadap hak kelangsungan hidup dan melakukan okupasi pada individu,
yang mana kaum marginal menjadi terpinggirkan.
Paham maksud dari terpinggirkan?
Tidak adanya perhatian, bantuan, jaminan hukum dan kehidupan sosial, jaminan
hidup layak dan hal-hal tidak menguntungkan lainyya. Padahal, manusia adalah
makhluk sosial, mandiri dan yang terpenting occupational being, yang
mana juga dijamin sebagai hak asasi, hak hidup dan berkehidupan sebagai manusia,
memiliki hak yang sama dan setara dihadapan manusia lainnya tanpa dilihat dari
kelompok, suku, ras, agama, perangai seksual, aliran sosial, tingkat ekonomi,
disabilitas/tidak dan sejenisnya, dari manapun mereka berasal.
Mereview kembali tentang occupational injustice
Begitulah beberapa
pengetahuan dasar dari occupational Injustice dengan dilihat dari sudut
pandang gabungan disiplin ilmu occupational science dan occupational
therapy yang bisa saya bagikan. Terus terang, literatur dan literasi dari occupational
injustice ini terbatas, perlu memahami dengan baik dan pembaharuan di
jurnal-jurnal internasional tidak banyak, membuat saya perlu meriset banyak hal.
Kurang lebihnya untuk meramu artikel ini saya banyak tambahkan
relevansi-relevansi yang kiranya dapat dipahami dengan mudah dan sederhana.
Ciao!
Foto :
http://otexplorations.blogspot.com/2011/04/ot-to-z-j-is-for-occupational-justice.html
https://images.theconversation.com/files/135325/original/image-20160824-30246-8veqk7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=926&fit=clip
https://www.healthline.com/hlcmsresource/images/imce/fracture_thumb.jpg
https://www.hshlawyers.com/wp-content/uploads/Mental-Illness-Girl.jpg
https://qtxasset.com/hotelmanagement/1516804816/Human-Trafficking.jpg?Gr.s4lJ8W38ZMnPauWYpzxldO9Tc_DOV
https://www.todaysparent.com/wp-content/uploads/2014/04/work-life-balance.jpg
https://www.incimages.com/uploaded_files/image/1024x576/getty_518889586_333442.jpg
https://cdn.modernghana.com/story_/1024/728/225202021418-n6ium8x432-apartheid.jpeg
https://www.middleeasteye.net/sites/default/files/styles/article_page/public/column-image/IslamAgainstTerror%28AFP%29.jpg?itok=MLOJDaeV
https://1721181113.rsc.cdn77.org/data/images/full/26632/how-racial-discrimination-leads-to-poor-health-among-marginalized-groups.jpg
https://i0.wp.com/acrawsa.org.au/wp-content/uploads/2019/02/Postracial-silences.jpg?resize=360%2C300&ssl=1
https://s21858.pcdn.co/wp-content/uploads/2014/01/discrimination400.jpg
https://sukabumiupdate.com/uploads/news/images/770x413/16Dukung_Lgbt.jpg
https://i.ytimg.com/vi/yipVIMxbzPY/maxresdefault.jpg
https://www.usnews.com/dims4/USNEWS/b7ccd59/2147483647/thumbnail/640x420/quality/85/?url=http%3A%2F%2Fmedia.beam.usnews.com%2F11%2Fcf%2F4748f48b4407a9dee2467cf84753%2F200318-editorial.jpg
https://images.theconversation.com/files/135325/original/image-20160824-30246-8veqk7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=926&fit=clip
https://www.healthline.com/hlcmsresource/images/imce/fracture_thumb.jpg
https://www.hshlawyers.com/wp-content/uploads/Mental-Illness-Girl.jpg
https://qtxasset.com/hotelmanagement/1516804816/Human-Trafficking.jpg?Gr.s4lJ8W38ZMnPauWYpzxldO9Tc_DOV
https://www.todaysparent.com/wp-content/uploads/2014/04/work-life-balance.jpg
https://www.incimages.com/uploaded_files/image/1024x576/getty_518889586_333442.jpg
https://cdn.modernghana.com/story_/1024/728/225202021418-n6ium8x432-apartheid.jpeg
https://www.middleeasteye.net/sites/default/files/styles/article_page/public/column-image/IslamAgainstTerror%28AFP%29.jpg?itok=MLOJDaeV
https://1721181113.rsc.cdn77.org/data/images/full/26632/how-racial-discrimination-leads-to-poor-health-among-marginalized-groups.jpg
https://i0.wp.com/acrawsa.org.au/wp-content/uploads/2019/02/Postracial-silences.jpg?resize=360%2C300&ssl=1
https://s21858.pcdn.co/wp-content/uploads/2014/01/discrimination400.jpg
https://sukabumiupdate.com/uploads/news/images/770x413/16Dukung_Lgbt.jpg
https://i.ytimg.com/vi/yipVIMxbzPY/maxresdefault.jpg
https://www.usnews.com/dims4/USNEWS/b7ccd59/2147483647/thumbnail/640x420/quality/85/?url=http%3A%2F%2Fmedia.beam.usnews.com%2F11%2Fcf%2F4748f48b4407a9dee2467cf84753%2F200318-editorial.jpg
Referensi :
Browne,
A. J., Varcoe, C., Smye, V., Littlejohn, D., Godwin, O., Krause, M., ...
Lennox, S. (2012). Closing the health equity gap: Evidence-based strategies for
primary health care organizations. International Journal for Equity in Health,
11, Article 59. doi:10. 1186/1475-9276-11-59
Durocher,
E., Gibson, B. E., Rappolt, S., Durocher, E., Gibson, B. E., & Rappolt, S.
(2017). Occupational Justice : A Conceptual Review Occupational Justice : A
Conceptual Review. Journal of Occupational Science, 21(4),
418–430. https://doi.org/10.1080/14427591.2013.775692
Gerlach,
A. J. (2015). Sharpening our critical edge: Occupational therapy in the context
of marginalized populations. Canadian Journal of Occupational Therapy, 82,
245–253. doi:10.1177/ 0008417415571730
Hammell, K. R. W., & Beagan, B. (2016). Occupational injustice: A
critique. Canadian Journal of Occupational Therapy 1-11. https://doi.org/10.1177/0008417416638858
Hocking,
Clare (2017) Occupational justice as social justice: The moral claim for
inclusion, Journal of Occupational Science, 24:1, 29-42, DOI:
10.1080/14427591.2017.1294016
Kronenberg, F., & Pollard, N. (2005). Overcoming occupational
apartheid: A preliminary exploration of the political nature of occupational
therapy. In F. Kronenberg, S. S. Algado, & N. Pollard (Eds.), Occupational
therapy without borders: Learning from the spirit of survivors (pp. 58?86).
Toronto, ON: Elsevier Churchill Livingstone.
Paula, A., Malfitano, S., & Gomes, R. (2016). Occupational Justice
and Its Related Concepts : An Historical and Thematic Scoping Review. OTJR:
Occupation, Participation and Health, 1-12.
https://doi.org/10.1177/1539449216669133
Stadnyk, R., Townsend, E., & Wilcock, A. (2010). Occupational
justice. In C. H. Christiansen & E. A. Townsend (Eds.), Intro- duction to
occupation: The art and science of living. (2nd ed., pp. 329–358). Upper Saddle
River, NJ: Pearson Education.
Townsend,
E., & Wilcock, A. A. (2004a). Occupational Justice. In C. Christiansen
& E. Townsend (Eds.), An introduction to occcupation: The art and science
of living (pp. 243-273). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall Publishing.
Townsend,
E., Wilcock, A. A., & Townsend, E. (2004b). Occupational Justice and
Client-centered Practice: A Dialogue in Progress. Canadian Journal of
Occupational Therapy, 71, April, 75–87.
Masya Allah sangat membuka pikiran dan menambah wawasan.. Sukses terus kak.. Ditunggu artikel selanjutnya 👍🏼👍🏼👍🏼
BalasHapus