Mengenal Occupational Injustice


            Halo! Pada kesempatan kali ini saya akan menyampaikan mengenai salah satu pokok bahasan yang dipelajari dalam occupational therapy (sengaja saya tulis dalam bahasa inggris yaa), yaitu occupational injustice. Pada dasarnya memang diawali dahulu dengan occupational justice, keadaan dimana individu dapat melakukan okupasinya dengan mandiri dan terlibat dalam lingkungannya tanpa terganggu/bermasalah dengan faktor eksternal apapun (lingkungan, situasi-kondisi, masyarakat, fasilitas umum, dsb). Dengan kata lain, bila saat ini kita hidup di tengah situasi justice, hal yang kita rasakan adalah ketenangan, kedamaian, kebersamaan, rasa saling memiliki dan toleransi; entah itu dalam bentuk keadilan “senyata-nyatanya” atau malah keadilan “semu”, yang mana terjadi ketika kita hidup sebagai mayoritas dan mengambil keuntungan dari para minoritas. Iya kan?
         Sambil sharing dan sedikit OOT (out of topic), saya bagikan video di bawah ini dari dokumenter TV One tentang seorang Haris Azhar. Beliau menyebut bahwa salah satu kelicikan dan ketimpangan hukum saat ini, salah satunya disebabkan oleh keadilan “semu”: yang di atas merasakan ‘adil yang senyata-nyatanya’ sedang yang di bawah merasakan ‘adil yang menyengsarakan’ mereka. Video ini menarik untuk kita sedikit belajar hukum dan keadilan, dari sudut pandang Haris Azhar.

Talk Show tvOne; 1 Hari, 1000 Pesan: Haris Azhar
          
    Okedeh, back to the topic. Occupational injustice, ya? Adalah suatu keadaan yang secara eksternal dan sosial terbentuk baik dalam suatu kondisi, dengan memberikan dampak negatif yang menyesakkan/mengganggu kelangsungan individu dalam melakukan okupasinya (Townsend & Wilcock, 2004). Saya berikan permisalan: suatu waktu ada individu dengan ‘karakteristik’ yang berbeda, misalnya berkulit hitam atau seorang ras tionghoa, sedang berada di lingkungan kulit putih western. Mereka diperlakukan dengan “istimewa” yang pada akhirnya malah membatasi hak-hak mereka atau memberikan mereka perlakuan yang berbeda.
    Sebagai contoh, kasus Ibu dengan disabilitas, menggunakan kursi roda untuk melakukan mobilitas kemanapun Ia pergi. Suatu saat harus menaiki transportasi umum, misalnya BRT (Bus Rapid Transit), tetapi fasilitas haltenya tidak bisa dijangkau olehnya untuk menuju ke atas secara mandiri, karena tanjakan kursi rodanya terlalu curam dan pada saat itu dia sendirian.
Menurut sedulur, apa kata pertama yang terbesit di pikiran sedulur dari kasus tersebut? 
Apakah diskriminasi? Penghindaran? Penyiksaan? Stigma? Ketidakdilan? Atau lainnya?
    Apapun kata pertama sedulur, saya rasa merupakan salah satu kata atau masih ada hubungannya dengan opsi di atas. Yap, sejelasnya itu lah contoh ketidakadilan, injustice. Akibat yang ditimbulkan tentu dengan jelas akan menyeluruh, terutama pada kelangsungan individu untuk melakukan okupasinya dengan baik, nyaman, dan puas tentunya, pula imbas kepada faktor internal individu.

Mengenal occupational injustice dalam perkembangan teorinya saat ini, terbagi dalam 5 jenis. Antara lain:
  1. Occupational Deprivation
  2. Occupational Disruption
  3. Occupational Alienation
  4. Occupational Imbalance
  5. Occupational Apartheid
  6. Occupational Marginalization

Occupational Deprivation dan Occupational Disruption 

 
Bertahan di Pengungsian dan di Rumah: Bagaimana Melawan Kecemasan? 

    Suatu keadaan dimana individu terbatas dalam keterlibatannya dalam okupasinya dengan baik dan/atau disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang dengan tiba-tiba mengendalikan kebebasan individu tersebut. Secara pengertian dasar, dua istilah tersebut memiliki kesamaan, misalnya oleh Stadnyk et al. (2010) menyebutkan bahwa situasi ini individu terdapat pada terpisahnya individu dari konteks normal ke konteks yang berbeda (contoh: situasi isolasi, pengungsian bencana alam, dll). Namun terdapat sedikit perbedaan di mana deprivation lebih memiliki waktu yang lama dan berdampak signifikan terhadap kesehatan individu (Durocher, Gibson, Rappolt, 2014).
    Sebagai contoh, saat ini kita dalam situasi di mana keluar rumah menjadi sesuatu yang tidak dianjurkan. Semua individu banyak menghabiskan waktu di dalam rumah, dengan segala pekerjaan (bagi yang work from home) dan rutinitas yang berubah 180­o sampai waktu yang tidak bisa ditentukan (bekepanjangan) dengan dampak kesehatan dari masing-masing individu yang berbeda. Bisa jadi semakin depresi, muncul kecemasan, imunitas menurun, gangguan pola tidur, kebosanan, dan lainnya. Yap, inilah occupational deprivation.
Lalu bagaimana dengan occupational disruption? Kalau disruption, waktunya cenderung pendek, sementara dan tidak berdampak signifikan pada kualitas kesehatan. Misalnya, individu ingin menghibur dirinya dengan keluar rumah rutin malam minggu jalan-jalan bareng pacarnya. Tetapi, situasi di lingkungannya sedang ramai karena ada pernikahan dan kepribadiannya adalah seorang jawa dengan segala ketidakenakannya, akhirnya batal. Ia memilih untuk tidak keluar, menghormati tetangganya dan ikut bertamu ke pernikahan tersebut. Atau misalnya pada peristiwa kebencanaan yang memaksa warga terdampak untuk sementara mengungsi, bila situasi aman akan kembali ke rumahnya.

Occupational Alienation

Human Trafficking: Perbudakan Masa Kini & Masa Depan


    Pengabaian sosial dengan pembatasan terhadap suatu populasi/kelompok individu untuk mengembangkan dan melakukan okupasi yang bermakna bagi mereka. Townsend & Wilcock (2004a) menyebutkan bahwa occupational alienation menunjukkan dampak berupa perasaan ketidakberartian dan tanpa tujuan ketika individu melakukan aktivitas kesehariannya. Dilanjutkan oleh Townsend & Wilcock (2004b), karakteristik dari occupational alienation ini merupakan sesuatu yang tidak lagi berarti, tidak menarik, membosankan, dan sifatnya seperti memaksakan partisipasi individu untuk terlibat dalam okupasi. Stadynk et al. (2010) menambahkan suatu okupasi/hal yang dikerjakan dengan terdapat standar yang tinggi (hasil yang sempurna), terus dilakukan berulang, dan tanpa adanya kesempatan bagi individu untuk memilih, mengendalikkan, memutuskan atau berkreasi, akan menimbulkan kebosanan atau menurunnya minat.
    Sebagai contoh, misalnya seorang pegawai yang sehari-hari mengerjakan dokumen saja dan hak-hak karyawan tampak seperti dibatasi. Pada titik tertentu, Ia akan merasakan bosan dan sampai di drop pointnya. Atau sebuah contoh di mana adanya occupational alienation ini adalah pad praktik perbudakan dan human trafficking. Kenapa begitu? Eksploitasi yang berlebihan pada manusia untuk melakukan sesuatu membuat individu tidak merasakan kebebasan dalam melakukan  okupasinya, selain okupasi yang dinilai mengganggu ini. Inilah letak dari occupational alienation, tentu dengan dampak berbeda yang dirasakan oleh masing-masing individu.

Occupational Imbalance

Imbalance: Over-occupied

    Keadaan dimana pola hidup dan melakukan okupasi dari individu dalam intensitas terlalu sering (banyak) atau terlalu jarang (sedikit) karena pekerjaan yang berlebihan atau keadaan menganggur, maupun terlalu banyak tanggungan yang didapatkan dari lingkungannya, sekitarnya, atau dirinya sendiri secara mendadak (Hocking, 2017). Disebutkan Townsend & Wilcock (2004), occupational imbalance digambarkan sebagai satu bentuk dari occupational apartheid, yang terbagi atas tiga jenis: un-occupied, under-occupied dan over-occupied. Sebagai mempermudah pemahaman, kita runtutkan dari asal kata imbalance, berarti tidak adanya (im) keseimbangan (balance). Asumsi dari tidak seimbang itu, saya ibaratkan sebuah timbangan: tidak berat (un-occupied), kurang berat (under-occupied), pas (balance) dan keberatan (over-occupied).

Stress Karena Terlalu Sibuk
    
    Ketika individu yang un-occupied, kondisinya adalah Ia merupakan pengangguran, lebih tepatnya tidak memiliki pola keseharian/aktivitas yang dilakukan (bahasa kekiniannya: nganggur/gabut). Lalu individu under-occupied, kondisinya Ia merupakan individu yang kurang sibuk. Ada memang sehari melakukan beberapa aktivitas/okupasi tertentu yang jelas dan rutin, tetapi masih kurang (bahasa kekiniannya: sok sibuk). Terakhir, individu over-occupied, di mana Ia merupakan individu super sibuk yang sering lupa sama kegiatan selain prioritasnya. Townsend & Wilcock (2004) menambahkan, individu un-occupied merupakan bentuk utuh dari occupational imbalance itu sendiri. Dapat diketahui pula bila individu yang dulunya over-occupied dapat menjadi un-occupied, misalnya akibat dari budaya bekerja/produktivitas tertentu (misalnya kasus gila kerja di Jepang, Tiongkok dan Western).

Occupational Apartheid

Pembatasan dengan White Supremacy

    Malfitano, Souza & Lopes (2016) menjelaskan bahwa occupational apartheid merupakan suatu situasi di mana kelompok individu tidak dapat melakukan okupasinya, utamanya tidak dapat melakukan kegiatan ekonomi/bekerja dan menjadi isolasi sosial di masyarakat. Faktor-faktor seperti ras, disabilitas, jenis kelamin, usia, kebangsaan, agama, status sosial dan arah seksualitas individu menjadi penyebab yang menimbulkan adanya occupational apartheid. Adanya occupational apartheid ini merupakan akibat adanya pembatasan dalam sektor ekonomi, sosial, hukum, atau agama dan dibuat-buat dengan pertimbangan hukum yang bersifat ‘kongkalikong’ tidak memihak dan mengeksploitasi mengambil keistimewaan di atas minoritas (Kronenberg & Pollard, 2005).
    Melihat apartheid mengingatkan kita pada masalah yang dahulu sempat menjadi masalah politik dunia. Yap, politik apartheid atau biasa disebut politik beda warna kulit, dengan tokoh dibalik politik yang menggemparkan dunia internasional, almarhum Nelson Mandela. Dewasa ini, bentuk apartheid cenderung sedikit berbelok dan dipahami dalam satu istilah, rasisme/rasialisme (dalam kaidah bahasa Indonesia; KBBI) yang lebih kompleks sentimennya hingga menyangkut ras/suku bangsa tertentu. 

Perlawanan terhadap Islamophobia

    Praktik occupational apartheid sebetulnya bisa kita lihat, namun tidak pernah kita sadari. Praktik pelarangan, boikot, persekusi dari oknum oknum dengan dasar “syariat agama” karena merasa dirinya bagian dari ‘mayoritas’ kepada masyarakat dengan agama lain, ketidakadlian sistem perekrutan karyawan pada disabilitas mental yang membuat mereka banyak tidak bisa bekerja, bahkan melamar kerja di instansi-instansi/perusahaan/agensi/sejenisnya. 
    Kasus orang dengan ekonomi kurang mampu sulit untuk merasakan rumah sakit, sarana pendidikan dan fasilitas lainnya, polarisasi kelompok masyarakat (karena berbeda dalam SARA maupun keterbatasan fisik, sakit kronis, disabilitas, dsb) yang pada akhirnya diekslusifikan dari lingkungan sosial yang tadinya menyatu pada keberagaman. Kasus kasus tersebut banyak yang berujung pada adanya pembatasan dan ketidakadilan untuk melakukan okupasinya, dalam bentuk aktivitas keseharian mereka pula dengan pola hidup mereka.

Occupational Marginalization

Diskriminasi Tersembunyi: Menjauhi dengan Membuat Kelompok

    Kita awali dulu dengan mengkaji secara makna kata, marginal yang menurut KBBI berarti tidak terlalu menguntungkan, pinggir, terpencil. Disebutkan oleh Gerlach (2015), marginalisasi berarti kumpulan orang atau populasi yang terdampak secara negatif oleh sejarah, struktur kekuasaan dan ketidakadilan sosial. Marginalisasi tidak melekat begitu saja pada kelompok tertentu, malahan, terbentuk oleh kondisi dan ketidakadilan yang terus menerus ada (Browne et al., 2012).
    Occupational marginalization merupakan situasi dimana adanya diskriminasi sosial dengan membatasi suatu populasi dari kebebasan dengan mengurangi kesempatannya terlibat dengan okupasinya (Nilsson & Townsend, 2010), terbatas untuk berpartisipasi dengan baik dalam konteks dan lingkungan mereka (Townsend & Wilcock, 2004), kesulitan untuk memanfaatkan kesempatan dan sumber daya yang tersedia (Hammell, 2008) dan tidak mampu turut berpartisipasi dalam okupasinya dan bisa jadi diasingkan dengan tidak dihargai maupun tidak diperbolehkan menentukan atau mengontrol sesuatu, pula dalam berkesempatan membuat keputusan (Durocher, Gibson, Rappolt, 2014). Menurut Hammell & Beagan (2016), occupational marginalization merupakan bentuk terparah dari occupational apartheid.

Kelompok Pro LGBT Mendesak Kesetaraan

    Ketika dengar atau baca kata marginal, saya jadi ingat sebuah band metal, Marjinal, yang cadas, powerful dan lagu-lagunya penuh tamparan kritik sosial dan kebijakan dan dikatakan kelompok ini juga tergabung dalam kelompok Punk, yang dikenal merupakan kelompok sosial masyarakat jalanan. Kemudian, adapula kelompok-kelompok tertentu yang mana mewakili kumpulan individu yang bisa dibilang “berbeda” dari konteks sosial dan bisa dikatakan minoritas (tidak banyak individu yang tergabung di dalamnya), yang berbeda daripada saya dan mungkin juga sedulur sekalian yang termasuk dalam kelompok sosial mayoritas. 
    Kelompok minoritas disini disebabkan oleh beberapa hal ya, ada yang dikarenakan visi tertentu, agama tertentu, ras tertentu, suku tertentu, perangai seksual tertentu dan sebagainya. Sebetulnya, bila kita hidup dengan asas keadilan sosial dan okupasional saya yakin kita pasti lebih toleransi dan rukun satu sama lain, saling menghargai hak-kewajiban satu sama lain dan tidak “saling memanfaatkan” dengan mendiskriminasi atau memojokkan kelompok/individu tertentu.

Apartheid, Marginalisasi & Rasialisme: Masalah Lama yang Selalu Baru

Pada kasus occupational injustice – marginalization ini, suatu kelompok/individu tampak menjadi korban. Stigma, pembatasan hak, diskriminasi, terpinggirkan, tidak diperhatikan, tidak diayomi, keberadaannya dianggap mengganggu ketertiban dan keamanan, selalu dipandang negatif dan hal-hal tidak menguntungkan dan unrespect ditujukan kepada mereka. Sudah dijelek-jelekkan, masih dibatasi haknya untuk menjalani hidup seperti masyarakat lainnya, setara. Tidak ada sekolah dan tidak boleh bersekolah, “dilarang sakit” karena dianggap tidak punya uang untuk berobat, dilarang bekerja karena personal appeal yang “aneh”, dijauhi masyarakat karena dianggap menakutkan dan bahaya, dibenci katanya melanggar syariat agama, dan sejenisnya yang memperlihatkan diskriminasi dan “orang-orang yang terbuang”. 

Menginjak Keadilan dan Kesetaraan melalui Marginalisasi

Occupational marginalization menjauhkan kita dari yang namanya: kemanusiaan. Kemanusiaan yang utuh, dengan melihat dan memahami manusia dengan baik, pantas dan setara tanpa harus memandang penampilan, tanpa mengerti kepribadian, tanpa mencari-cari sesuatu yang berbeda daripadanya.

Mungkin dari sedulur-sedulur akan sedikit merasa kebingungan dengan artikel ini, utamanya mengenai “Mana yang bentuk injustice yang lebih berat?”. Bentuk Injustice terberat adalah occupational marginalization. Dalam marginalization sudah menunjukkan adanya pembatasan pembatasan dari lingkungan (utamanya sosial; lebih memiliki pengaruh besar) terhadap hak kelangsungan hidup dan melakukan okupasi pada individu, yang mana kaum marginal menjadi terpinggirkan. 
Paham maksud dari terpinggirkan? Tidak adanya perhatian, bantuan, jaminan hukum dan kehidupan sosial, jaminan hidup layak dan hal-hal tidak menguntungkan lainyya. Padahal, manusia adalah makhluk sosial, mandiri dan yang terpenting occupational being, yang mana juga dijamin sebagai hak asasi, hak hidup dan berkehidupan sebagai manusia, memiliki hak yang sama dan setara dihadapan manusia lainnya tanpa dilihat dari kelompok, suku, ras, agama, perangai seksual, aliran sosial, tingkat ekonomi, disabilitas/tidak dan sejenisnya, dari manapun mereka berasal. 


Mereview kembali tentang occupational injustice

    Begitulah beberapa pengetahuan dasar dari occupational Injustice dengan dilihat dari sudut pandang gabungan disiplin ilmu occupational science dan occupational therapy yang bisa saya bagikan. Terus terang, literatur dan literasi dari occupational injustice ini terbatas, perlu memahami dengan baik dan pembaharuan di jurnal-jurnal internasional tidak banyak, membuat saya perlu meriset banyak hal. Kurang lebihnya untuk meramu artikel ini saya banyak tambahkan relevansi-relevansi yang kiranya dapat dipahami dengan mudah dan sederhana. Ciao!


Foto : 

http://otexplorations.blogspot.com/2011/04/ot-to-z-j-is-for-occupational-justice.html
https://images.theconversation.com/files/135325/original/image-20160824-30246-8veqk7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=926&fit=clip
https://www.healthline.com/hlcmsresource/images/imce/fracture_thumb.jpg
https://www.hshlawyers.com/wp-content/uploads/Mental-Illness-Girl.jpg
https://qtxasset.com/hotelmanagement/1516804816/Human-Trafficking.jpg?Gr.s4lJ8W38ZMnPauWYpzxldO9Tc_DOV
https://www.todaysparent.com/wp-content/uploads/2014/04/work-life-balance.jpg
https://www.incimages.com/uploaded_files/image/1024x576/getty_518889586_333442.jpg
https://cdn.modernghana.com/story_/1024/728/225202021418-n6ium8x432-apartheid.jpeg
https://www.middleeasteye.net/sites/default/files/styles/article_page/public/column-image/IslamAgainstTerror%28AFP%29.jpg?itok=MLOJDaeV
https://1721181113.rsc.cdn77.org/data/images/full/26632/how-racial-discrimination-leads-to-poor-health-among-marginalized-groups.jpg
https://i0.wp.com/acrawsa.org.au/wp-content/uploads/2019/02/Postracial-silences.jpg?resize=360%2C300&ssl=1
https://s21858.pcdn.co/wp-content/uploads/2014/01/discrimination400.jpg
https://sukabumiupdate.com/uploads/news/images/770x413/16Dukung_Lgbt.jpg
https://i.ytimg.com/vi/yipVIMxbzPY/maxresdefault.jpg
https://www.usnews.com/dims4/USNEWS/b7ccd59/2147483647/thumbnail/640x420/quality/85/?url=http%3A%2F%2Fmedia.beam.usnews.com%2F11%2Fcf%2F4748f48b4407a9dee2467cf84753%2F200318-editorial.jpg


Referensi :
Browne, A. J., Varcoe, C., Smye, V., Littlejohn, D., Godwin, O., Krause, M., ... Lennox, S. (2012). Closing the health equity gap: Evidence-based strategies for primary health care organizations. International Journal for Equity in Health, 11, Article 59. doi:10. 1186/1475-9276-11-59
Durocher, E., Gibson, B. E., Rappolt, S., Durocher, E., Gibson, B. E., & Rappolt, S. (2017). Occupational Justice : A Conceptual Review Occupational Justice : A Conceptual Review. Journal of Occupational Science, 21(4), 418–430. https://doi.org/10.1080/14427591.2013.775692
Gerlach, A. J. (2015). Sharpening our critical edge: Occupational therapy in the context of marginalized populations. Canadian Journal of Occupational Therapy, 82, 245–253. doi:10.1177/ 0008417415571730
Hammell, K. R. W., & Beagan, B. (2016). Occupational injustice: A critique. Canadian Journal of Occupational Therapy 1-11. https://doi.org/10.1177/0008417416638858
Hocking, Clare (2017) Occupational justice as social justice: The moral claim for inclusion, Journal of Occupational Science, 24:1, 29-42, DOI: 10.1080/14427591.2017.1294016
Kronenberg, F., & Pollard, N. (2005). Overcoming occupational apartheid: A preliminary exploration of the political nature of occupational therapy. In F. Kronenberg, S. S. Algado, & N. Pollard (Eds.), Occupational therapy without borders: Learning from the spirit of survivors (pp. 58?86). Toronto, ON: Elsevier Churchill Livingstone.
Paula, A., Malfitano, S., & Gomes, R. (2016). Occupational Justice and Its Related Concepts : An Historical and Thematic Scoping Review. OTJR: Occupation, Participation and Health, 1-12.  https://doi.org/10.1177/1539449216669133
Stadnyk, R., Townsend, E., & Wilcock, A. (2010). Occupational justice. In C. H. Christiansen & E. A. Townsend (Eds.), Intro- duction to occupation: The art and science of living. (2nd ed., pp. 329–358). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education.
Townsend, E., & Wilcock, A. A. (2004a). Occupational Justice. In C. Christiansen & E. Townsend (Eds.), An introduction to occcupation: The art and science of living (pp. 243-273). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall Publishing.
Townsend, E., Wilcock, A. A., & Townsend, E. (2004b). Occupational Justice and Client-centered Practice: A Dialogue in Progress. Canadian Journal of Occupational Therapy, 71, April, 75–87.

Komentar

  1. Masya Allah sangat membuka pikiran dan menambah wawasan.. Sukses terus kak.. Ditunggu artikel selanjutnya 👍🏼👍🏼👍🏼

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular

Terapi Okupasi: Siap Kerja di Mana Aja (Bagian 2)

Urgensi Membangun Diskusi Mahasiswa di Masa Kini